Kritik Sastra " Puisi Wiji Tukul "

 


PERINGATAN

Jika rakyat pergi

Ketika penguasa pidato

Kita harus hati-hati

Barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat bersembunyi

Dan berbisik-bisik

Ketika membicarakan masalahnya sendiri

Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat berani mengeluh

Itu artinya sudah gasat

Dan bila omongan penguasa

Tidak boleh dibantah

Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang

Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan

Dituduh subversif dan mengganggu keamanan

Maka hanya ada satu kata: lawan!

 

Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu

Apa guna punya ilmu

Kalau hanya untuk mengibuli

Apa gunanya banyak baca buku

Kalau mulut kau bungkam melulu

Di mana-mana moncong senjata

Berdiri gagah

Kongkalikong

Dengan kaum cukong

Di desa-desa

Rakyat dipaksa

Menjual tanah

Tapi, tapi, tapi, tapi

Dengan harga murah

Apa guna banyak baca buku

Kalau mulut kau bungkam melulu

 

Kritik dan Esai Puisi “Peringatan” dan “Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu” Karya Widji Thukul

     Wiji Widodo nama aslinya, dilahirkan dari keluarga katolik, di Sorogenen, Solo 26 Agustus 1962. Bapaknya seorang penarik becak, ibunya kadang menjual ayam bumbu untuk membantu ekonomi keluarga. Nama “Thukul” yang berarti tumbuh, disematkan kepadanya oleh Cempe Lawu Warta ketika ia aktif berteater dengan Sarang Teater Jagat (Jagalan Tengah). Wiji Thukul, artinya biji yang tumbuh. Ia lahir sebagai anak pertama dari tiga bersaudara di lingkungan kaum marjinal. Mayoritas penduduknya adalah tukang becak dan buruh, termasuk bapaknya yang juga bekerja menjadi tukang becak. Hidup di tengah-tengah kaum marginal, ia banyak mengamati dan merekam realitas rakyat pinggiran melalui bait-bait puisi. Sejak duduk di bangku sekolah dasar, Thukul sudah mulai gemar menulis puisi. Lulus sekolah dasar, ia lanjutkan sekolah di SMP Negeri 8 Solo. Semasa duduk di bangku SMP, ia mulai tertarik menekuni dunia teater. Ia pun meneruskan sekolahnya di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) jurusan tari.

     Makna yang tersirat dalam kedua puisi diatas adalah bentuk dari sebuah perlawanan rakyat yang tidak puas dengan kinerja pemerintah, Puisi itu menggambarkan kegeraman masyarakat tentang permasalahan yang ada dan sikap pemerintah yang arogan dan agresif terhadapt rakyat. Seperti dalam larik puisi dibawah ini :

Bila rakyat berani mengeluh

Itu artinya sudah gasat

Dan bila omongan penguasa

Tidak boleh dibantah

Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang

Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan

Dituduh subversif dan mengganggu keamanan

Maka hanya ada satu kata: lawan!

     Larik puisi diatas sangat jelas menggambarkan bahwa rakyat kalau sudah mengeluh dan kecewa dengan pemerintah maka rakyat akan bertindak tegas, apabila pemerintah tidak mau atau anti terhadap kritik rakyat maka sebuah perlawanan yang besar akan muncul di tengah-tengah masyarakat. Puisi diatas lahir pada masa orde baru dengan kepemimpinan ang otoriter sehingga puisi diatas merupakan sebuah sikap dan pesan yang ingin disampaikan oleh penyair tentang kekecewaan yang sangat mendalam puisi diatas sangat mewakili kaum buruh atau kaum marjinal yang tertindas karena tidak mendapatkan kesejahteraan pada masa itu sehingga lahirlah sebuah puisi tersebut dengan makna perlawanan buruh terhadap penguasa yang diciptakan oleh Widji Thukul.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kritik Sastra puisi-puisi karya Mashuri yang berjudul "Hantu Kolam", "Hantu Musim" dan "Hantu Dermaga"

KRITIK SASTRA : TAHI LALAT

Kritik dan Esai Cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” Karya M. Shoim Anwar