Kritik dan Esai Puisi "Ulama Durna Ngesot ke Istana"

“Ulama Durna Ngesot ke Istana”

Oleh :  M. Shoim Anwar



 

 

 




Lihatlah

sebuah panggung di negeri sandiwara

ketika ada Ulama Durna ngesot ke istana

menjilat pantat raja agar diberi jatah remah-remah

maka kekuasaan menjadi sangat pongah

memesan potongan-potongan ayat untuk diplintir sekenanya

agar segala tingkah polah dianggap absah

 

Lihatlah

ketika Ulama Durna ngesot ke istana

menyerahkan marwah yang dulu diembannya

Sengkuni dan para pengikutnya di luar sana

bertingkah sok gagah berlindung di ketiak penguasa

menunggang banteng bermata merah

mengacungkan arit sebagai senjata

memukulkan palu memvonis orang-orang ke penjara

 

Lihatlah

ketika Ulama Durna berdagang mantra berbusa-busa

adakah ia hendak menyulut api baratayuda

para pengikutnya mabuk ke lembah-lembah

tatanan yang dulu dicipta oleh para pemula

porak poranda dijajah tipu daya

oh tahta dunia yang fana

para begundal mengaku dewa-dewa

sambil menuding ke arah kawula

seakan isi dunia hendak diuntal mentah-mentah

 

Lihatlah

ketika Ulama Durna ngesot ke istana

pada akhir perebutan tahta di padang kurusetra

ia diumpankan raja ke medan laga

terhenyaklah saat terkabar berita

anak hasil perzinahannya dengan satwa

telah gugur mendahului di depan sana

Ulama Durna bagai kehilangan seluruh belulangnya

ia menunduk di atas tanah

riwayatnya pun berakhir sudah

kepalanya terpenggal karena terpedaya

menebus karmanya saat baratayuda

                                         Desember 2020 

Kritik dan Esai Puisi “Ulama Durna Ngesot ke Istana

Puisi diatas adalah karya sastrawan sekaligus dosen yang bernama M Shoim Anwar, Shoim Anwar telah banyak membuat karya puisi, novel, dan cerpen. salah satu puisi beliau adalah puisi Ulama Durna Ngesot ke Istana.

Durna diangkat menjadi resi ketika Bisma telah gugur. Durna digambarkan tokoh yang sombong dan hidup dalam rasa dendam. Durna sering memandang orang hanya dari jabatan, kekayaan, dan pangkat. REsi durna menyayangi arjuna yang merupakan salah satu pandawa akan tetapi durna tetap lebih cinta kepada putranya yaitu Aswatama.


Lihatlah

sebuah panggung di negeri sandiwara

ketika ada Ulama Durna ngesot ke istana

menjilat pantat raja agar diberi jatah remah-remah

maka kekuasaan menjadi sangat pongah

memesan potongan-potongan ayat untuk diplintir sekenanya

agar segala tingkah polah dianggap absah


Puisi diatas menggambarkan bahwa kedekatan yang terjalin antara murid dan gurunya , menggambarkan seorang yang dianggap mumpuni dalam hal spiritual lebih memilih menjilat seorang penguasa agar mendapatkan harta, kedudukan, dan kekayaan. penindasan dan menghukum kaum lemah merupakan jalan polah laku mereka.


Lihatlah

ketika Ulama Durna ngesot ke istana

menyerahkan marwah yang dulu diembannya

Sengkuni dan para pengikutnya di luar sana

bertingkah sok gagah berlindung di ketiak penguasa

menunggang banteng bermata merah

mengacungkan arit sebagai senjata

memukulkan palu memvonis orang-orang ke penjara


    Dalam ketakutan mereka, mereka hnay berani berlindung di atas kekuatan istana dan tidak mau mngekui kesalahan meskipun telah menindas dan berbuat jahat terhadap orang-orang yang tidak bersalah.


Lihatlah

ketika Ulama Durna berdagang mantra berbusa-busa

adakah ia hendak menyulut api baratayuda

para pengikutnya mabuk ke lembah-lembah

tatanan yang dulu dicipta oleh para pemula

porak poranda dijajah tipu daya

oh tahta dunia yang fana

para begundal mengaku dewa-dewa

sambil menuding ke arah kawula

seakan isi dunia hendak diuntal mentah-mentah


Durna dianggap tidak pantas untuk berteman dengan raja, durna hanya dimanfaatkan untuk kepentingan istana. mereka hanya ingin menang sendiri dan tidak mau mengakui kesalahan mereka. durna memiliki karakter yang arogan dan ingin menangnya sendiri. 


    Puisi diatas memiliki makna yang sangatpenting bahwa setiap manusia ketika berada dalam puncak kemarahan maka apapun yang dianggapnya salah akan ditikam atau diincar sebagai bentuk kepuasan dalam kemarahan. hal ini menjadikan manusia tidak bisa mengendalikan sifat emosi dan amarah yang ada dala dirinya. 

    Dalam kehidupan nyata ini beberapa sifat pewayangan tersbut juga dimiliki oleh manusia diantaranya sombong, congkak, keras kepala, dan rasa dendam. sebagai sebuah hikmah yang kita ambil bahwa manusia harus memiliki sifat yang baik dengan tidak melihat seseorang hanyaberdasarkan kedudukan, pangkat, jabatan, harta dan selalu mengutamakan kehidupan sosial dengan tetap rendah hati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kritik Sastra puisi-puisi karya Mashuri yang berjudul "Hantu Kolam", "Hantu Musim" dan "Hantu Dermaga"

KRITIK SASTRA : TAHI LALAT

Kritik dan Esai Cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” Karya M. Shoim Anwar